Selasa, 26 Agustus 2008

WAKIL RAKYAT ATAU WAKIL PARTAI

SUARA RAKYAT SUARA TUHAN

Bagaimana parpol memposisikan calegnya terhadap rakyat pemilih, sangatlah variatif. Ada yang konsisten tegak lurus terhadap ketentuan UU Pemilu, ada yang menerapkan variasi 15 persen Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), dan ada juga yang mengambil jalan kebijakan suara terbanyak.


Meski ada yang mengkritik sebagai kebijakan yang sekedar lipstick, cari muka, dan bahkan tidak konsisten dengan ketentuan UU Pemilu, kebijakan internal beberapa parpol untuk menerapkan pola suara terbanyak dalam tata cara penetapan calon terpilih adalah sebuah kemajuan demokrasi. Parpol-parpol tersebut, baik yang mendukung pola suara terbanyak sejak awal maupun yang belakangan, tengah berupaya mempraktekkan asas keadilan politik di tubuh partainya.




Pola suara terbanyak juga akan mendorong lahirnya politisi-politisi yang rajin turun ke bawah, berkomunikasi dengan masyarakat di daerah pemilihannya (dapil), serta serius berjuang untuk meyakinkan pemilih bahwa dia layak untuk dipilih sebagai wakil dan saluran aspirasi. Artinya, pola suara terbanyak akan menjadi obat yang mujarab untuk mengikis kultur politisi malas dan hanya keras berjuang untuk merebut nomor urut.




Yang lebih penting adalah prinsip menghormati suara rakyat. Kaidah moral demokrasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan lebih terjamin dengan pola suara terbanyak. Bahwa yang menjadi musabab seseorang untuk duduk di kursi parlemen bukan nomor urutnya (yang lebih ditentukan oleh partai), tetapi adalah dukungan dan kepercayaan rakyat pemilih, secara langsung kepadanya.




Ketika nomor urut kehilangan kesaktiannya, maka sandaran masa depan politisi adalah rakyat pemilih. Pemilih benar-benar menjadi empunya demokrasi (pemilu) dan karena itu secara jelas menjadi kekuatan penentu bagi sukses tidaknya seorang politisi, dan bahkan partainya.
Dengan demikian, siapa yang duduk di kursi DPR dan DPRD adalah mereka yang dipercaya, dikehendaki dan dipilih oleh rakyat. Itulah yang kita sebut sebagai wakil rakyat. Tinggal lagi, apakah para anggota parlemen itu benar-benar mampu memainkan peran dan kiprahnya sebagai agregator dan artikulator kepentingan rakyat yang diwakilinya. Jika pun ternyata tidak mampu mewakili rakyat di dapilnya, rakyat bisa mengoreksi pada pemilu berikutnya dengan cara memilih yang lebih baik.




Mereka tidak sekedar wakil atau representasi politik bagi partainya, tetapi menjadi wakil dari rakyat yang memilihnya. Mereka memang harus tetap loyal dan tunduk kepada garis partainya, tetapi aspirasi dan kepentingan rakyat akan diperjuangkan dengan sepenuh hati. Dengan demikian, tidak ada lagi dikotomi antara wakil rakyat dan wakil partai. Wakil rakyat memang diberangkatkan dari partai. Miqat dari anggota parlemen adalah partai, tetapi mereka akan menjalankan misi utama partai, yakni melayani kepentingan rakyat sebagai panggilan hidup politisi sejati. Wallahu a`lam (Anas Urbaningrum)

Tidak ada komentar: