Kamis, 28 Agustus 2008

SBY DEMOKRAT SEJATI

PENDEWASAAN BERPOLITIK

DALAM silaturahmi RI-1 dengan insan pers akhir Juli 2008, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menceritakan pengalamannya kalah dalam pemilihan wapres tahun 2001. Ketika itu ada lima kandidat: Hamzah Haz, Akbar Tandjung, Agum Gumelar, Siswono Yudhohusodo, dan SBY. Pada putaran kedua, calonnya tinggal Hamzah, Akbar, dan SBY. Ketika itu popularitas SBY dinilai terbaik sehingga diprediksi hasilnya juga demikian di MPR. Tapi, realitas mengatakan lain, mayoritas MPR tidak memilih SBY.



Maka keesokannya, pagi-pagi sekali, didampingi istrinya, Ani SBY, dan timnya ia menyatakan di depan wartawan, dirinya mengakui kekalahannya. SBY mengatakan proses kompetisi di MPR demokratis, sah dan benar. Kepada konstituen dan pendukungnya, SBY minta maaf karena tidak berhasil memenuhi harapan mereka. SBY juga meminta konstituen dan suporternya mendukung sepenuhnya wapres terpilih.



Banyak hikmah dan pelajaran penting yang bisa dipetik dari sepenggal dinamika demokrasi Indonesia di atas. Saat itu negeri ini baru keluar dari era otoriterisme Soeharto, sehingga banyak yang masih kagok, gagap, dan tak siap menyikapi situasi. Yang diperlihatkan SBY saat itu justru sikap respek, komit dan konsistensi seorang demokrat. Sebab, demokrat sejati adalah yang siap menerima secara wajar kekalahan yang dialami. Siap kalah, memberikan dukungan kepada pemenang, dan komitmen penuh pada demokratisasi.



Tapi, begitu seorang kandidat dinilai keterlaluan dalam menyerang lawan-lawan maka kandidat tersebut cepat meminta maaf, menetralisasi atau memberi klarifikasi yang cukup. Begitu pula ketika kemenangan sudah diraih seorang kandidat, maka kandidat-kandidat lainnya mengatakan kalah dan memberikan dukungan penuh kepada capres terpilih. Duh, indahnya... Itu yang diperlihatkan Hillary Clinton terhadap Barack Obama dalam persaingan konvensi Demokrat yang akhirnya dimenangkan Obama.



Di Indonesia, sikap yang dipertontonkan SBY di permulaan di atas, masih langka. Capres yang kalah masih belum rela mengakui kalah apalagi memberi selamat kepada capres terpilih. Begitu pula sekarang. Mari kita berefleksi dengan melihat realitas dan fenomena kompetisi politik kita hari ini. Pilkada ada di mana-mana, entah untuk bupati, wali kota, gubernur. Masih banyak politisi kita berpameo "permusuhan tiada akhir", berat menerima kekalahan. Tahun depan kita ikuti Pilpres 2009. Kita harapkan kemunculan para politisi berjiwa besar dan negarawan. Semoga demokrat sejatilah pemenangnya. (Disunting : rpohan@jurnas.com)

Tidak ada komentar: